picture was taken from http://wayangkhazanahdunia.blogspot.com/
Dukuh Dakawu yang
dahulu kala bernama Dukuh Batu Tulis terletak di Desa Lebak, Kecamatan Grabag,
Kabupaten Magelang. Bernama Dukuh Batu Tulis karena letaknya dekat dengan
sumber mata air Kali Mas tempat ditemukannya prasasti (Batu Tulis) bertuliskan
huruf Palawa berbahasa Sanksekerta.
Konon tempat itu dahulu termasuk dalam wilayah bumi perdikan Pangrantunan yang terbentang mulai dari sungai Krasak yang merupakan batas Magelang-Yogyakarta, sampai Bandar Bergota atau pelabuhan Tanjung Mas di Semarang. Ki ageng Soradipayana yang diberi bumi perdikan ini oleh Raja Mataram di Kartasura. Ki Ageng Soradipayana mempunyai dua orang putra. Yang sulung bernama Kyai Ageng Gajahsora di beri tanah bagian utara yang disebut Bumi Perdikan Banyu Biru dan yang bungsu bernama Kyai Ageng Lembusora mendapat tanah bagian selatan, dari desa Pamingit hingga sungai Krasak, disebut Perdikan Pamingit.
Konon tempat itu dahulu termasuk dalam wilayah bumi perdikan Pangrantunan yang terbentang mulai dari sungai Krasak yang merupakan batas Magelang-Yogyakarta, sampai Bandar Bergota atau pelabuhan Tanjung Mas di Semarang. Ki ageng Soradipayana yang diberi bumi perdikan ini oleh Raja Mataram di Kartasura. Ki Ageng Soradipayana mempunyai dua orang putra. Yang sulung bernama Kyai Ageng Gajahsora di beri tanah bagian utara yang disebut Bumi Perdikan Banyu Biru dan yang bungsu bernama Kyai Ageng Lembusora mendapat tanah bagian selatan, dari desa Pamingit hingga sungai Krasak, disebut Perdikan Pamingit.
Rumah ki
Ageng Soradipayana berada kurang lebih 1,5 km di sebelah selatan Dukuh Batu
Tulis, tepatnya di Kelurahan Donorojo di Kecamatan Tegalrejo. Bekas rumah ki
Ageng Soradipayana sekarang sudah tidak ada lagi karena sudah berubah menjadi
Tegal Gede.
Konon, di kampung
Batu Tulis pada suatu masa pernah terjadi hal yang sangat aneh. Seluruh penduduk
kampung digemparkan oleh hilangnya bayi yang baru lahir tanpa ada jejak yang
ditemukan. Kegemparan ini terus berlanjut karena setiap ada bayi lahir selalu
saja hilang tanpa jejak, dan itu terjadi berulang-ulang sehingga menimbulkan
kecemasan dan ketakutan pada seluruh penduduk. Mulanya warga desa menganggap
bahwa bayi-bayi tersebut dibawa oleh demit atau sebangsa makhluk halus,
sehingga beberapa utusan pun menghadap Ki Ageng Soradipayana untuk meminta
petunjuk.
Ki Ageng Sora
Dipayana lalu bersabda agar dukuh BatuTulis pindah ke sebalah Selatan tidak
jauh dari desa semula. Tempat yang baru itu tepat di sebelah utara sungai
bernama Kali Segara. Namun, musibah itu tetap saja berlanjut, bahkan lebih
parah karena bayi bisa juga hilang pada siang hari. Maka tetuwa desa itu yang
bernama mbah Endong (beliau adalah orang yang suka menanam Mendong yang
merupakan bahan untuk membuat tikar) kembali menghadap Ki Ageng Soradipayana.
Kali ini Ki
Ageng Soradipayana menyuruh warga desa untuk mencari abu sebanyak-banyaknya
untuk ditaburkan di jalan, di halaman depan, samping dan belakang rumah di
seluruh pedukuhan Batu Tulis. Ki Ageng juga melarang warga untuk keluar rumah
di malam hari. Perintah Ki Ageng
benar-benar dilaksanakan. Ketika ada bayi lahir dan seluruh jalan dan sekitar
rumah ditaburi dengan abu, maka keesokan harinya terjadilah peristiwa yang
menggemparkan dukuh kecil itu. Pagi itu ada seekor ular sebesar pohon kelapa
melingkar di halaman rumah pemilik bayi. Hanya ekor dan telinganya yang
bergerak-gerak, sedangkan seluruh tubuhnya tertutup abu tebal sehingga ia tidak
bias berjalan.
Ternyata makhluk
mirip ular itu adalah ikan air tawar dari Kedung Gupit yang ada di Sungai Segara.
Ikan besar itu adalah ikan pelus atau yang disebut uling. Dan yang terlihat
seperti telinga itu adalah siripnya. Ikan Pelus raksasa itulah rupanya yang
telah mencuri bayi-bayi yang hilang itu. Diceritakan bahwa ikan Pelus tersebut
telah di rasuki oleh Demit yakni sebangsa makhluk halus.
Ki Ageng
Soradipayana kemudian mengubah nama Dukuh Batu Tuli menjadi Dukuh Dakawu yang
merupakan singkatan dari Mundhak Karana Awu (bahasa Jawa) yang artinya jumlah
penduduknya bertambah karena abu.
Konon cerita ini
bukanlah dongeng namun riwayat yang dikisahkan turun temurun.
Dikisahkan
bahwa di atas Batu Tulis atau Prasasti di desa Dakawu tersebut pada malam Jum’at
Kliwon sering terlihat seekor angsa (dalam bahasa Jawa angsa disebut ‘Banyak’) emas, sehingga di sekitar
tempat itu menjadi terang benderang seperti siang. Bahkan pada sekitar tahun
1940 an, pernah ada beberapa serdadu Belanda utusan Tuan Residen Kedu ingin
memikat Banyak Emas tersebut, namun tidak berhasil dan emas pemikat yang berupa
emas batangan itu pun hilang.
Sedangkan di
Tegal gede yang merupakan bekas rumah Ki Ageng Soradipayana pada malam Jum’at
Kliwon sering terlihat berates-ratus lampu beragam cahayanya. Menurut cerita
lampu-lampu gemerlap itu berwarna kuning dan berasal dari uang ringgit yang
banyaknya satu Klawoh dan terpendam di tempat itu. Konon sudah banyak orang
pintar yang berusaha mengambil ringgit emas tersebut namun tidak ada yng
berhasil.
Magelang,
26-6-2013
(Seperti dikisahkan
oleh Eyang Sutito/Suisnen yang lahir pada 18 Mei 1932)
Really great story:)
ReplyDelete